September 20, 2010

Indonesia: Do We Really Need Nation Branding?



Bicara soal nation brand, berarti bicara tentang merek suatu negara lengkap dengan atribut yang melekat. Chinamisalnya. Ketika bicara China, maka yang melekat pada brand “China” adalah benderanya, lagu kebangsaannya, tagline-nya, dan asosiasi lain seperti giant panda, the great wall, kungfu atau sekarang bisa jadi termasuk bird nest stadiumnya. Nation brand, sama seperti product brand, sama-sama merupakan kesatuan dari logo, tagline, symbol dan sebagainya yang membedakannya dari competitor. Namun ada perbedaan mendasar antara product brand dan nation brand.

Bagaimanapun juga, suatu product brand bisa kapanpun di-discontinued, dimodifikasi atau di-relaunch. Nah kalo nation brand, hal-hal di atas akan sulit atau bahkan mustahil dilakukan. Cakupan audience untuk product brand jelas lebih terdefinisikan sementara cakupan audience nation brand bisa jadi diverse dan susah untuk didefinisikan. Tujuan product branding biasanya untuk boosting sales dan membangun relationship dengan konsumen. Adapun tujuan nation branding lebih ke arah menciptakan country image. Country image ini dipercaya mampu menarik investasi, turis, penciptaan lapangan kerja, meningkatkan export dan sebagainya.

Kalau nation brand itu given, nation branding itu choice untuk mengaplikasikan marketing dan branding strategy untuk mempromosikan image suatu negara. Jadi, sebenarnya tidak semua negara butuh melakukan nation branding! Lalu, negara semacam apa yang butuh nation branding? Menurut Andreas Markessinis, penulis, blogger dan ahli nation branding, ada beberapa pertanyaan yang bisa dijadikan panduan apakah suatu negara butuh nation branding. Apabila jawaban Ya lebih dari 5, sudah pasti suatu negara membutuhkan nation branding!

* Seringkah orang menanyakan dari mana anda berasal dan dilanjutkan dengan pertanyaan: wah dimanakah negara anda itu?
* Apakah negara anda diasosiasikan dengan cuaca jelek, makanan yang tidak enak dan standar hidup yang rendah?
* Apakah orang lain sering keliru mempersepsikan tradisi budaya, makanan, agama, bendera dari negara anda dengan negara tetangga anda?
* Apakah orang lain sering tidak bisa menunjukkan letak negara anda di dalam peta?
* Apakah orang lain sering kesulitan menyebutkan nama negara anda?
* Apakah negara anda terkait dengan negative stereotype dan prasangka buruk?
* Apakah oirang-orang dari negara anda tidak terlalu disukai?
* Apakah orang lain tidak mengenali bendera negara anda?
* Apakah produk-produk dari negara anda dipersepsikan sebagai murahan dan berkualitas buruk?


Lalu bagaimana dengan Indonesia? Berdasar survey tahunan yang dilakukan oleh Anholt-GfK Roper Research (Simon Anholt adalah seorang independent policy advisor, penulis dan peneliti, terutama di bidang nation branding. GfK adalah satu lembaga riset dunia) pada tahun 2009, Indonesia berada pada posisi 43 dari total 50 negara yang disurvei. Sementara Malaysia dan Thailand berada pada posisi 34 dan 38. Sebuah survey terhadap produk asuransi yang dilakukan oleh join research Bangkok University dan Nanyang Technological University menemukan bahwa produk asuransi dari Indonesia dipersepsi sebagai low quality, low pride dan low reliability oleh responden di Thailand. Studi lain di Singapura mengenai persepsi terhadap produk dari Indonesia, yaitu roti (IndoBread) dan kopi (IndoCafe) juga menunjukkan bahwa produk dari Indonesia dipersepsikan low dalam kaitan dengan rasa, prestige, kualitas bahan baku, kualitas secara keseluruhan, keinginan membeli dan familiarity. Fakta-fakta di atas menunjukkan: Indonesia perlu nation branding!

Bagaimana membangun nation brand? Belajar dari Korea. Korea Selatan adalah salah satu negara yang serius membangun brand negaranya. Seberapa serius pemerintah Korea membangun brand “Korea”? Bulan Januari 2009, Presiden Korea Selatan, Lee Myung Bak, yang merupakan mantan CEO Hyundai, mendirikan Presidential Council on Nation Branding (PCNB) yang bertugas menyusun strategi dan guideline untuk koordinasi dan memimpin aktivitas-aktivitas dalam membangun brand “Korea”. Lembaga ini dibentuk karena pemerintah Korea Selatan menyadari adanya gap antara persepsi dan realitas tentang Korea Selatan diantara orang asing (non Korean). PCNB, bekerja sama dengan Samsung Economic Research Institute mengembangkan the Nation Brand Dual Octagon (NBDO) model yang mengindikasikan 8 kategori pembentuk nation brand, yaitu: Economy, Science and Technology, Hard Infrastructure, Institution, Heritage, Modern Culture, Citizenry dan Celebrity. Jadi, paling tidak, upaya nation branding-nya bakal terintegrasi. Langkah awal yang diambil PCNB adalah: mempopulerkan Hangeul dengan membuka 150 sekolah bahasa Korea di berbagai negara. Sekolah Bahasa Korea cukup popular di Amerika Serikat dan Jepang, namun mulai tahun lalu PCNB mulai merambah area Asia Tenggara dimana drama dan music Korea mulai popular. Langkah berikutnya adalah mempopulerkan Seoul –dengan ambisi membuatSeoul popular seperti layaknya Paris di Perancis. Langkah ketiga adalah mempopulerkan makanan khas Korea, terutama kimchi dan bulgogi. Jalur sport diplomacy juga ditempuh oleh PCNB dengan mengajukan diri sebagai tuan rumah FIFA World Cup 2022 dan winter Olympic 2018. Ambisius?

Bagaimanapun membangun nation brand itu penuh dengan tantangan. Dan jelas nation brand itu bukan sekedar bikin tagline karena tagline tanpa aktivitas nyata di belakangnya hanya sekedar omong kosong. Branding tidak akan bermakna apa-apa ketika elemen lain seperti: kondisi politik, ekonomi, keamanan, dan kondisi lingkungan tidak mendukung. Tidak ada cerita nation branding bisa memulihkan image suatu negara yang kondisinya ekonomi, dan politiknya kocar kacir. Buat Indonesia, saat ini Indonesia disebut-sebut oleh New York Times sebagai “economic golden child” dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 6.2% di caturwulan kedua plus pasar modal yang berkinerja terbaik di Asia. Politik di Indonesia juga sedang kondisi yang kondusif. Indonesia saat ini benar-benar sedang “berkilau” di tengah lesunya pasar global. Momentumnya lagi pas. So, Indonesia should be a country in action now.

Oleh Lianti Rahardjo, Pengamat Country Branding dari School of Management, Binus Business School

No comments: