September 20, 2010
Brand Berkarakter: Sarana Dialog dengan Konsumen
Konsumen tidak hanya ingin dimanjakan oleh brand yang mereka pilih, tetapi mereka ingin benar-benar membangun hubungan menyeluruh dengan brand tersebut. Telah terbukti bahwa brand-brand yang terkenal dan melekat di hati konsumen adalah brand-brand yang berkarakter. Tidak bisa dipungkiri bahwa karakter akan memberikan pemahaman serta makna yang lebih besar kepada suatu produk.
Karakter Manusiawi: Refleksi Suara Konsumen
”Apalah arti sebuah nama?”. Mungkin William Shakespeare ingin menunjukkan bahwa nama menjadi tidak begitu penting ketika kita berbicara mengenai atribut yang menyertai nama tersebut. Nama hanya merupakan ”bungkus” saja, sementara atribut di dalamnya yang mencerminkan karakter dari nama tersebut sesungguhnya mencerminkan isi, dan ini lebih penting. Dalam istilah pemasaran, ”nama” mengacu pada ”brand”, di mana di dalamnya terkandung makna yang lebih luas dibanding hanya sekadar nama.
Di era New Wave, kita lebih tepat menggambarkan suatu brand sebagai karakter suatu produk. Karakter ini yang nantinya akan memunculkan kharisma, karena karakter merupakan isi yang sesungguhnya. Dalam pemasaran, ”karakter” adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu produk. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada produk, sehingga diingat oleh konsumen. Bahkan, ciri khas tersebut bisa menentukan suka tidaknya konsumen terhadap produk tersebut. Karakter ini memberikan suatu konsistensi, integritas dan energi, sehingga jika karakter suatu produk cukup kuat di mata konsumen maka hal ini bisa cepat menarik konsumen untuk membeli atau menggunakannya.
Di era New Wave pula, konsumen mengharapkan bahwa karakter suatu produk mempunyai peran positif dan proaktif dalam kehidupan mereka, di mana hal ini tidak hanya merupakan kegiatan bisnis tetapi sudah merambah pada wilayah emosional konsumen. Sebagaimana layaknya hubungan antar manusia, maka di era New Wave ini hubungan produk dengan konsumen bukanlah hubungan ”sains” tetapi lebih sebagai ”seni”.
Ketika orang berbicara mengenai brand, umumnya hanya dikaitkan dengan masalah produk, kualitas, harga, fungsi, dan sebagainya. Hal ini berbeda ketika brand dimaknai sebagi karakter dari suatu produk, maka hal ini akan menyentuh berbagai sisi kemanusiaan. Karakter suatu produk akan semakin merefleksikan kepribadian yang mendalam, kebudayaan dan perilaku dari produsen. Dengan kata lain, brand sebagai suatu karakter tidak hanya sekadar kreativitas kosong yang dihasilkan oleh pemasar kepada konsumen sebagai pelanggan.
Pembangunan karakter sangat penting era New Wave, di mana karakter yang kuat akan menimbulkan kharisma, sehingga menimbulkan rasa percaya di antara konsumen. Dalam kharisma terkandung unsur manusiawi. Lalu, seperti apakah karakter yang manusiawi itu?
Josephson Institute mengatakan bahwa pada dasarnya ada enam dasar karakter yang baik dari seorang manusia adalah “truthfulness, respect, responsibility, fairness, care, dan citizenship”. Atau dengan kata lain “kejujuran, saling menghormati, tanggung-jawab, prinsip keadilan, peduli satu sama lain, dan jiwa ‘merakyat’ yang horizontal”. Oleh karena itu, sudah selayaknya bahwa karakter yang dimiliki oleh suatu brand harus merefleksikan bukan hanya apa yang dilakukan oleh produk tersebut tetapi juga apa yang disuarakan oleh produk tersebut tentang orang yang membelinya atau menggunakannya.
Menonjolkan Karakter, Membangun Transparansi
Pola pikir New Wave yang mengubah konsep dasar segitiga PDB (brand-positioning-differentiation) menuju Tripple C (character-clarification-codification) menunjukkan betapa pentingnya transparansi suatu produk yang dipasarkan kepada konsumen. Sekali suatu brand tidak mencerminkan karakter yang jujur, maka ia selamanya tidak akan dipercaya oleh konsumen. Konsumen sebagai pelanggan semakin mengharapkan bisnis yang bertanggung jawab secara sosial. Jika karakter ini bisa dibangun secara baik, maka hal ini bisa mempengaruhi tidak hanya terhadap preferensi pembelian tetapi juga loyalitas konsumen terhadap produk.
Ada temuan menarik dari suatu riset mengenai karakter produk dengan target market perempuan di perkotaan. Ketika para responden yang terdiri dari sekelompok perempuan dengan kemandirian ekonomi (yaitu perempuan bekerja, baik menikah, lajang maupun single parent) disodori pertanyaan: ”Seandainya ada dua brand dengan harga dan kualitas sama, mana kira-kira yang akan Anda pilih?” Ternyata mayoritas perempuan memilih brand yang memiliki karakter “peduli terhadap konsumen (perempuan)”. Brand di mana dianggap mewakili karakter produsennya yang peduli terhadap lingkungan atau peduli terhadap perempuan, misalnya, ternyata jauh lebih diterima dibanding brand yang mewakili karakter produsennya yang konsisten menggarap kelas atas. Atau dengan kata lain, produsen dari brand tersebut benar-benar respect dan responsible terhadap konsumen yang merupakan anggota masyarakat.
Riset di antara anak-anak dan pra remaja menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda. Konsep suatu brand di mata mereka mungkin perlu agak diperluas karena secara spontan biasanya mereka akan mengkaitkan dengan suatu tokoh berkarakter yang merupakan brand ambassador dari suatu produk tertentu. Karakter di sini membentuk simbolisasi brand yang merefleksikan sifat dari brand tersebut. Karakter ”memihak dan bersahabat” cenderung lebih mudah diterima oleh anak-anak dibanding karakter yang ”menggurui”. Unsur icon berkarakter sangat membantu mereka untuk menterjemahkan ”sepak terjang” brand pada produk-produk dengan target market anak-anak dan pra remaja.
Pentingnya Keberpihakan pada Konsumen
Banyak perusahaan yang semakin menyadari pentingnya pembangunan karakter dari produk yang mereka hasilkan agar dipercaya oleh konsumen, sehingga terjalin hubungan jangka panjang dengan konsumen. Karakter yang berkharisma semakin banyak dirancang untuk merefleksikan gaya hidup konsumen.
Sangat menarik menyimak sepak terjang Body Shop yang sangat menjunjung etika dalam berbisnis. Body Shop tidak hanya sekadar brand, tapi sudah merupakan karakter yang mencerminkan kepedulian pada masyarakat. Bahkan, langkah yang ditempuh Body Shop yang tadinya dianggap ”tidak biasa” akhirnya dianggap sebagai ”mercusuar” bagi bisnis-bisnis yang dimiliki oleh berbagai perusahaan lain. Lihat saja, berbagai program yang dilakukan oleh Body Shop telah memberikan manfaat kesehatan dan pendidikan bagi pemasoknya. Body Shop telah memberikan contoh praktek bisnis yang mengagumkan, di mana perusahaan ini menerapkan cara berbisnis yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat secara positif. Sekali lagi, karakter Body Shop yang peduli pada masyarakat kemudian menjadi lebih bermakna dibanding brand Body Shop itu sendiri.
Yang tak kalah menarik adalah temuan hasil riset mengenai karakter duatu produk di antara anggota komunitas, di mana ikatan antar anggota komunitas terbangun karena adanya rasa solidaritas. Kondisi semacam ini dimanfaatkan secara cerdas oleh beberapa produsen untuk memperluas pasarnya dengan cara menyentuh sisi emosional konsumen. Salah satu contoh adalah tindakan yang dilakukan oleh Nike. Nike secara bagus telah berupaya secara terus-menerus ”membujuk” kaum perempuan melalui komunitas-komunitas yang dibangun oleh kaum perempuan. Karakter Nike yang memahami perbedaan antara laki-laki dan perempuan ditandai dengan peluncuran produk-produk untuk olah raga yang berusaha mengembangkan strategi untuk mengakomodir bagaimana laki-laki dan perempuan memaknai olah raga secara berbeda. Jika olah raga diperkenalkan oleh Nike kepada pria sebagai aktivitas yang akan membuat tubuh sehat dan gagah, maka kepada wanita, olah raga diperkenalkan oleh Nike sebagai cara perempuan untuk sejenak melupakan kejenuhan mengurus urusan domestik yang melelahkan. Olah raga menurut filosofi Nike merupakan sarana refreshing bagi kaum perempuan.
Karakter yang dimiliki Body Shop maupun Nike tersebut hanyalah sedikit gambaran mengenai bagaimana suatu perusahaan besar ingin membesarkan nama mereka dengan cara melibatkan konsumen.
Brand yang memenuhi six pillar characters akhirnya bisa menjadi ”milik” konsumen. Terlebih lagi apabila brand yang berkarakter tersebut sudah bisa menarik hati konsumen secara emosional melalui ikatan yang dibangun bersama konsumen, sehingga konsumen akan merasa ikut memilikinya. Dengan kata lain, brand jika tidak berkarakter mungkin hanya menjadi corporate identity. Namun demikian, karakter yang dibangun akan menjadikan brand tersebut sebagai emotional identity yang tidak lagi dimiliki oleh produsen, tetapi oleh konsumen sebagai anggota masyarakat.
Berdialog dengan Konsumen melalui Penonjolan Karakter
Brand yang berkarakter adalah institusi yang paling bisa dipertanggungjawabkan. Jika konsumen tidak lagi mencintai brand Anda, Anda patut khawatir dengan nasib brand Anda di masa depan. Untuk itulah, seperti halnya hubungan indah didasari cinta, hubungan dengan konsumen harus didasari rasa pengertian. Karakterlah sebagai jembatannya. Karakter produk Anda bisa merasuk ke kehidupan konsumen apabila Anda mengetahui siapa konsumen Anda, apa aktivitas keseharian mereka, apa masalah dan kekhawatiran yang mereka rasakan, dan sebagainya.
Sudah saatnya produsen mengubah paradigma, dari ”mengagung-agungkan brand” menjadi ”mengutamakan karakter”. Dari ”bagaimana memotivasi konsumen untuk membeli produk kita” menjadi ”bagaimana kita dapat menyentuh kehidupan konsumen melalui produk klita”.
Karakter dari produk kita harus bisa memenuhi unspoken needs dan wants konsumen, karena pada dasarnya konsumen tidak pernah minta sesuatu, tetapi sebenarnya butuh sesuatu. Jika brand kita terkenal, jangan pernah berpikir bahwa brand kita pasti dicintai konsumen. Yang terbaik adalah kita tempatkan brand kita dengan menonjolkan karakternya. Pada gilirannya, penonjolan karakter juga akan menaikkan posisi brand, tidak hanya sebagai alat komunikasi kepada konsumen, tetapi lebih jauh lagi sebagai sarana dialog dengan konsumen.
Nastiti Tri Winasis – Research Manager MarkPlus Insight
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment